Oleh Warsito
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta
Juara I Analis UU DPR RI Tahun 2016
Salah satu substansi penting UU. No. 12 Tahun 2011, revisi dari UU. No. 10 Tahun 2004 sebagaimana diubah terakhir dengan UU. No. 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah menempatkan kembali Ketetapan MPR/MPRS dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan berada dibawah UUD 1945. Berdasarkan UU. No. 10 Tahun 2004, Tap MPR tidak dimasukkan dalam tata urutan perundang-undangan, mengingat telah terjadi perubahan kewenangan MPR secara signifikan, pasca amandemen UUD 1945, mengakibatkan MPR hanya berwenang membuat peraturan yang bersifat penetapan (beschikking) mempunyai kekuatan hukum mengikat kedalam. Menurut penulis, setidaknya ada dua catatan tambahan. Pertama, meski Ketetapan MPR sudah tepat dimasukkan didalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan, tetapi masalahnya akan berdampak kepada soal uji materi mengenai lembaga negara manakah yang akan berwenang menguji TAP MPR jika keberadaannya melanggar UUD 1945.
Kedua, Bongkar pasang penempatan Status Hukum Ketetapan MPR/MPRS kembali dilakukan pembuat undang-undang, ini menunjukkan kebingungan pembuat UU itu sendiri untuk menempatkan posisi yang tepat mengenai status hukum Tap MPR. Berdasarkan Pasal I Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: ”Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2003. Ini berarti, Ketetapan MPRS/MPR dari tahun 1960-2002 perlu diteliti dan disisir kembali apa saja yang menjadi bagian dari hukum. Memperhatikan dengan saksama Ketetapan MPR No. I/MPR/2003, tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS/MPR tahun 1960-2002, berarti Tap MPR yang belum dicabut dan masih diakui itu, merupakan bagian dari hukum yang keberadaanya mengikat, baik kedalam maupun keluar anggota majelis.
STATUS HUKUM KETETAPAN MPR
Berdasarkan Pasal I Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: ”Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2003”.[1]
Bongkar pasang penempatan Status Hukum Ketetapan MPR kembali dilakukan pembuat undang-undang. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diundangkan pada tanggal 12 Agustus 2011, memasukkan kembali Ketetapan MPR bagian dari hierarki Peraturan Perundang-Undangan dibawah UUD 1945. Meski sebelumnya, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor: III/MPR/2000, Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, TAP MPR ditempatkan urutan kedua dibawah UUD 1945. Namun, setelah terbentuknya Undang-Undang Nomor: 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Status Hukum TAP MPR justru dihilangkan dari hierarki tata urutan Peraturan Perundang-Undangan. Disini terlihat tampak kebingungan pembuat Undang-Undang untuk menentukan Status Hukum Ketetapan MPR tersebut, apakah bagian dari hierarki Peraturan Perundang-Undangan atau tidak.
Salah satu substansi penting UU. No. 12 Tahun 2011, revisi dari UU. No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah menempatkan kembali Ketetapan MPR/MPRS dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan berada dibawah UUD 1945. Tahun 2004, Tap MPR tidak dimasukkan dalam tata urutan perundang-undangan, mengingat telah terjadi perubahan kewenangan MPR secara signifikan pasca amandemen UUD 1945, yang mengakibatkan MPR hanya berwenang membuat peraturan yang bersifat penetapan (beschikking) mempunyai kekuatan hukum mengikat kedalam.
Berdasarkan UU NO: 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:1. UUD 1945;
2. TAP MPR;
3. UU/PERPU;
4. PP;
5. PERPRES;
6. PERDA PROVINSI;
7. PERDA KABUPATEN KOTA
Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 memuat pengelompokan Ketetapan MPR/MPRS sejak 1960-2002. Dalam pengelompokan ini masing-masing Ketetapan MPRS/MPR pada hakekatnya merupakan putusan yang bersifat penetapan yang bersifat individual, konkrit dan final, tidak lagi merupakan peraturan yang bersifat umum dan abstrak yang mengikat kedalam dan keluar. Pengelompokan tersebut menempatkan Ketetapan MPRS/MPR kedalam lima kelompk yaitu, Ketetapan MPRS/MPR yang memuat aturan yang sekaligus memberi tugas kepada Presiden: Ketetapan MPR MPR/MPRS yang bersifat penetapan (beschikking): Ketetapan MPR/MPRS yang bersifat mengatur kedalam (intern regeling); Ketetapan MPR yang bersifat deklaratif; Ketetapan MPRS/MPR yang bersifat rekomendasi dan perundang-undangan.[2]
Dikutip dari Bahan Tayangan Materi Sosialisasi Putusan MPR yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR-RI. Berdasar Ketetapan MPR tersebut diatas status hukum Ketetapan MPRS/MPR dikelompokkan menjadi 6 (enam) kategori, yaitu:
Pasal I TAP MPR No. I/MPR/2003
TAP MPRS/MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku ada (8 Ketetapan)yaitu;
1. Ketetapan MPRS RI Nomor X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Semua Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada Posisi dan Fungsi yang Diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
2. Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.
3. Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia Berhalangan.
4. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.
5. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum.
6. Ketetapan MPR RI Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
7. Ketetapan MPR RI Nomor XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum.
8. Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Kedelapan TAP tersebut telah berakhir masa berlakunya dan/atau telah diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 2 TAP MPR No. I/MPR/2003
1. Ketetapan MPRS RI Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
2. Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
3. Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur.
Pasal 3 TAP MPR No. I/MPR/2003
TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 ada 8 (delapan) Ketetapan, yaitu;
1. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004.
2. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
3. Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2000.
4. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik Indonesia.
5. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia.
6. Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001.
7. Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/2002 tentang Rekomendasi Kebijakan untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional.
8. Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden, Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Kedelapan TAP tersebut tidak berlaku karena Pemerintahan hasil Pemilu 2004 telah terbentuk.
Pasal 4 TAP MPR No. I/MPR/2003
TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang ada 11 (sebelas) Ketetapan, yaitu;
1. TAP MPRS Nomor XXIX/MPRS/1966 Pengangkatan Pahlawan Ampera.
2. TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
3. TAP MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. TAP MPR Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
5. TAP MPR Nomor V/MPR/2000 Tentang Pemantapan Persatuan Dan Kesatuan Nasional.
6. TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
7. TAP MPR RI Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
8. TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
9. TAP MPR Nomor VII/MPR/2001 Tentang Visi Indonesia Masa Depan.
10. Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
11. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Pasal 5 TAP MPR No. I/MPR/2003
Tap MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 ada 5 (lima) Ketetapan, yaitu;
1. TAP MPR No. II/MPR/1999
2. TAP MPR No. I/MPR/2000
3. TAP MPR No. II/MPR/2000
4. TAP MPR No. V/MPR/2001
5. TAP MPR No. V/MPR/2002
Sudah tidak berlaku lagi karena telah terbentuknya Peraturan Tata Tertib MPR hasil Pemilu 2004.
Pasal 6 TAP MPR No. I/MPR/2003
TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan ada 104 (seratus empat) Ketetapan.
UU. No. 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah menempatkan kembali Ketetapan MPR bagian dari hierarki Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan dibawah UUD 1945. Setelah menyimak dengan saksama akhirnya dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:
- Bagaimana jika Ketetapan MPR melanggar UUD 1945, Lembaga Negara manakah yang berwenang melakukan uji materi TAP MPR tersebut?.
- Apakah TAP MPR secara eksternal dapat mengikat keluar majelis?.
- Sudah tepatkah TAP MPR dimasukkan di dalam hierarki peraturan perundang-undangan?.
Mencermati dikotomi antara istilah constitution dengan grondwet (Undang-Undang Dasar), L.J. Van Apeldoorn telah membedakan secara jelas diantara keduanya, kalau grondwet (Undang-Undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu Konstitusi, sedangkan constitution (Konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Sementara Sri Soemantri M, dalam desertasinya menyebutkan Konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. Penyamaan arti dari keduanya ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara dunia termasuk di Indonesia.
Konstitusi suatu negara termuat di dalam Undang-Undang Dasar(Grondwet, fundamental law) dan berbagai aturan Konvensi. Bahkan Inggris tidak memiliki Undang-Undang Dasar. Konstitusinya terdiri dari beberapa prinsip dan aturan yang timbul dan berkembang selama berabad-abad sejarah bangsa dan negaranya. Para sarjana politik berpendapat bahwa harus dibedakan antara negara berkonstitusi dan negara yang mempunyai pemerintahan Konstitusional (constitution state, constitutional government). Negara yang mempunyai konstitusi (mempunyai Undang-Undang Dasar yang lengkap dan indah) belum tentu mempunyai pemerintahan yang konstitusional.
Hans Kelsen, dalam Maria Farida (2007: 41) dikemukakan oleh Monika Suhayati menyatakan, Die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen merupakan teori yang dikemukakan oleh Hans Nowiasky. Teori ini dikembangkan dari Stufentheorie dari Hans Kelsen. Hans Kelsen dari teori jenjang norma hukum (Stufentheorie) menyatakan bahwa norma hukum berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis menyatakan dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar (grundnorm). Norma dasar ini ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada dibawahnya, sehingga suatu norma dasar dikatakan pre-supposed. Menurut Hans Kelsen, hukum mengatur pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum menentukan cara untuk membuat norma hukum yang lain, dan juga sampai derajat tertentu, menentukan isi dari norma yang lain itu. Karena, norma hukum yang satu valid lantaran dibuat dengan cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum yang lain, dengan norma hukum yang lain ini menjadi landasan validitas dari norma hukum yang disebut pertama. Teori jenjang norma hukum diilhami dari seorang murid Hans Kelsen yang bernama Adolf Merkl. Adolf Merkl mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz), yaitu suatu norma hukum keatas bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi kebawah suatu norma hukum juga menjadi sumber dan dasar bagi norma hukum dibawahnya. Oleh karena itu suatu norma hukum mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif, dimana masa berlaku suatu norma hukum tergantung pada norma hukum yang berada diatasnya. Apabila norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, pada dasarnya norma hukum yang berada dibawahnya akan tercabut atau terhapus pula. Diilhami teori Adolf Merkl tersebut, Hans Kelsen mengemukakan dalam hal susunan atau hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (norma dasar) menjadi tempat bergantungnya norma dibawahnya, sehingga apabila norma dasar berubah maka akan menjadi rusaklah sistem norma yang berada dibawahnya. Sthufentheori kemudian dikembangkan oleh salah satu murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky dalam die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen, yang menyatakan bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara juga berkelompok-kelompok. Pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar, yaitu staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara), staatsgrundgesetz (aturan dasar negara atau aturan pokok negara), formeel gezetz (undang-undang formal), verordnung@autonome satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom). Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara) merupakan norma hukum yang tertinggi dan merupakan kelompok pertama dalam hierarki norma hukum negara. Norma fundamental negara merupakan norma tertinggi dalam suatu negara dan tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat ”Pre-supposed” atau ”ditetapkan terlebih dahulu” oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan norma yang menjadi tempat bergantungnya norma hukum dibawahnya. Norma yang tertinggi ini tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, oleh karena jika norma yang tertinggi dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi maka ia bukan lagi merupakan norma yang tertinggi.
Menurut Hans Nawiasky, staatsfundamentalnorm berisi norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu staatsfundamentalnorm berisi norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu staatsfundamentalnorm yaitu syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar.Staatsfundamentalnorm ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar. Sedangkan staatsgrundgesetz (aturan dasar negara atau aturan pokok negara) merupakan kelompok norma hukum dibawah staatsfundamentalnorm. Norma dari staatsgrundgesetz merupakan aturan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga merupakan norma hukum tunggal. Suatu staatsgrundgeset dapat dituangkan di dalam suatu dokumen negara yang disebut staatsverfassung atau dapat juga dituangkan dalam beberapa dokumen negara yang tersebar-sebar. Di dalam setiap staatsgrundgesetz biasanya diatur hal-hal mengenai pembagian kekuasaan negara di puncak pemerintahan, hubungan antar lembaga-lembaga negara dan hubungan antar negara dengan warga negaranya.
Perundang-Undangan yang Berlaku
Indonesia sebagai negara hukum, ditegaskan didalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan: ” Negara Indonesia adalah negara hukum”, untuk mewujudkan Negara hukum tersebut diperlukan tatanan yang tertib antara lain di bidang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan merupakan pelaksanaan dari ketentuan pasal 22A UUD 1945, yang menyebutkan:
”ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”.
Ketetapan MPR/MPRS
Ketetapan MPR/MPRS sebelum perubahan UUD 1945 mempunyai kekuatan mengikat kedalam Anggota MPR/MPRS dan juga mempunyai kekuatan hukum mengikat keluar anggota MPRS/MPR yaitu kepada lembaga tertinggi negara, Presiden, legislatif, yudikatif, Dewan Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan serta kepada seluruh lapisan masyarakat.[3] Ketetapan MPR/MPRS merupakan suatu amanat yang harus dilaksanakan oleh Presiden dalam rangka menjalankan pemerintahannya. Ketetapan MPR/MPRS juga merupakan sumber dan dasar Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.[4]
Menurut Sri Soemantri, hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu Peraturan Perundang-Undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji material ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. Apabila suatu Undang-Undang dilihat dari isinya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, maka Lembaga negara yang diberi wewenang untuk melakukan uji materi Undang-Undang terhadap UUD adalah Mahkamah Konstitusi sebagaimana kewenangnya diatur di dalam Pasal 24C UUD 1945.
Harun Al Rasid, menyatakan bahwa secara yuridis, UUD 1945 masih berlaku sementara, walaupun berlakunya UUD tersebut dengan dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959, yang kemudian disetujui oleh DPR hasil pemilihan umum tahun 1955, appeal tersebut berdasarkan pasal 3 UUD 1945 sebagai tugas MPR untuk menetapkan UUD 1945. Dekrit presiden merupakan political decision yang sudah tidak bisa diubah lagi, dengan demikian persetujuan DPR terhadap dekrit tersebut sebenarnya tidak perlu dan tidak mempunyai efek yuridis, karena DPR fungsinya membuat undang-undang. [5]
Menurut Yamin, harus jelas bagi rakyat apakah Undang-Undang Dasar akan menuju pada Republik yang menjadi aspirasi rakyat. Karena itu, Undang-Undang Dasar harus memberi rumusan yang jelas mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan Negara dan juga memberi perlindungan pada kebebasan berpendapat, berserikat dan sebagainya, singkatnya kebebasan-kebebasan yang menjamin kondisi hidup yang lebih baik daripada masa lalu, serta kehidupan yang lebih bahagia dan makmur di dalam negara menurut aspirasi-aspirasi kita. [6]
Tereduksinya Kewenangan MPR
Pasca amandemen UUD 1945, MPR kewenangannya menjadi tereduksi, sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Monika Suhayati, menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan ”kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Ketentuan ini mengamanatkan kedaulatan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR sebagai perwujudan seluruh rakyat. MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang dalam kedudukannya sebagai penjelmaan seluruh rakyat, bertugas memberi mandat kepada penyelenggara negara lainnya, yang wajib memberikan pertanggungjawaban pelaksanaan mandat yang diberikan.[7] Hamid S. Attamimi dengan meminjam istilah JJ Rousseau dalam Monika Suhayati menggambarkan kedudukan dan kualitas rakyat dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia ”Citoyen atau burger” (rakyat yang berdaulat). Setelah MPR dibentuk, rakyat asli dinamakan ”suyet” atau onderdaan” (rakyat yang diperintah).[8] Kehendak MPR adalah kehendak rakyat yang berdaulat (citoyen/burer) dan MPR berarti Majelis Perundingan/negotiation/deliberation rakyat[9], sedangkan kehendak rakyat yang diperintah diwakili oleh DPR. Sebagai pemegang kedaulatan Rakyat, Ketetapan MPR/MPRS berada langsung dibawah UUD 1945 dan diatas undang-undang dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia serta Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Perubahan Pasal I ayat (2) UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, fungsi dan wewenang MPR. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara melainkan salah satu lembaga negara diantara lembaga negara lainnya yang memiliki kedudukan setara, namun dengan tugas, kewenangan, dan fungsi yang berbeda. MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya, yaitu Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Perubahan ini mengakhiri posisi MPR sebagi parlemen tertinggi yang memonopoli dan menjalankan kedaulatan rakyat, sekaligus menandai tamatnya doktrin supremasi MPR yang menyebutkan ”MPR ialah penyelenggara negara yang tertinggi dan dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara” dan bahwa”karena MPR memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas.[10]
Perubahan UUD 1945 lainnya yang mempengaruhi kewenangan MPR yaitu perubahan pada Pasal 3 dan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Pasal 3 UUD 1945 Tahun 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan UUD dan garis-garis besar daripada haluan negara. Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak.
Setelah mengalami perubahan, Pasal 3 UUD 1945 berbunyi:
1. MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD;
2. MPR melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
3. MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.
Sedangkan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasal 3 UUD 1945 setelah perubahan meniadakan kewenangan MPR untuk membentuk Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 meniadakan kewenangan MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden.
Perubahan Pasal 3 UUD 1945 sebagaimana disampaikan oleh Maria Farida Indrati, di dalam Monika Suhayati telah mengakibatkan hilangnya kewenangan MPR untuk membentuk Ketetapan yang berisi peraturan yang berlaku keluar. Hilangnya kewenangan untuk membentuk ketetapan yang mengatur keluar tersebut merupakan akibat adanya ketentuan Pasal 6A UUD 1945 yang menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pemilihan secara langsung oleh rakyat tersebut mempunyai akibat bahwa presiden tidak lagi mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab menjalankan garis-garis besar daripada haluan negara yang ditetapkan oleh MPR, oleh karena presiden bukan lagi merupakan mandataris MPR.[11] Pasca Perubahan UUD 1945, mengakibatkan MPR hanya berwenang mengeluarkan putusan yang berisi hal-hal bersifat penetapan (beschikking) dan mempunyai kekuatan hukum mengikat kedalam MPR. Sedangkan Ketetapan MPR/MPRS yang dinyatakan masih berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat keluar diatur didalam TAP MPR No: I/MPR/2003, Tentang Peninjauan kembali terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS/MPR Tahun 1960-2002.
Menurut Jimly, di dalam Monika Suhayati setelah perubahan UUD 1945, pada hakekatnya MPR tetap dapat disebut sebagai suatu institusi yang tersendiri, meskipun kedudukannya tidak lagi bersifat tertinggi dikarenakan UUD 1945 menentukan MPR ditentukan terdiri atas anggota DPR dan DPD, dan UUD 1945 juga menentukan adanya kewenangan MPR yang bersifat tersendiri maka mau tidak mau MPR juga harus dipahami sebagai suatu lembaga yang tersendiri. MPR masih diberi wewenang untuk memilih dalam rangka mengisi jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang kosong, kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan mengubah UUD. Hanya saja sifat pekerjaan MPR tidak bersifat tetap dan terus-menerus, melainkan hanya bersifat Ad Hoc.[12] Perubahan kewenangan MPR setelah perubahan UUD 1945 diikuti dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR/MPRS dari hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU. No. 10 Tahun 2004. Ketentuan ini menempatkan undang-undang langsung berada dibawah UUD 1945.
Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor: I/MPR/2003, tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS/MPR Tahun 1960-2002 masih terdapat beberapa Ketetapan MPR/MPRS yang masih berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu, menurut Monika Suhayati, (2011:2007) terbitnya UU. Nomor: 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memasukkan kembali Ketetapan MPR/MRS dalam hierarki peraturan perundang-undangan atas dasar Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor: I/MPR/2003. Ketetapan MPR/MPRS yang substansinya belum secara keseluruhan digantikan dengan Undang-Undang antara lain, tentang Ketetapan MPRS Nomor:XXV/MPRS/1966 mengenani pembubaran Partai Komunis Indonesia, Ketetapan MPR Nomor: XVI/MPR/1998 Tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, Ketetapan MPR Nomor: V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur. Sedangkan Ketetapan MPR/MPRS yang sudah digantikan dengan undang-undang antara lain, Ketetapan MPR Nomor: XI/MPR/1998, Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Ketetapan MPR Nomor: III/MPR/2000, Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan; Ketetapan MPR Nomor: VI/MPR/2000, Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.[13]
Saya sependapat dengan analisa Monika Suhayati (2011: 207-208), bahwa Ketetapan MPRS/MPR yang dimasukkan hierarki Peraturan Perundang-Undangan pada Pasal 7 ayat (1) UU. No. 12 Tahun 2011 apabila dikaji menurut teori Hans Nawiasky adalah tepat. Karena merupakan aturan dasar negara atau aturan pokok negara (staatsgrungezets) sebagaimana dengan batang tubuh UUD 1945, selain itu, Ketetapan MPRS/MPR sebelum perubahan UUD 1945 merupakan landasan pembentukan Undang-Undang (formeel gezetz) dan peraturan lain yang lebih rendah. Sehingga dengan adanya Ketetapan MPR/MPRS juga merupakan aturan dasar negara atau aturan pokok negara (staatsgrundgezet) yang mana berkedudukan dibawah UUD 1945 dan diatas undang-undang.
Namun Menurut hemat penulis, setidaknya ada dua catatan tambahan. pertama, meski Ketetapan MPR sudah tepat dimasukkan didalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan, tetapi jika disimak dengan saksama akan berdampak kepada soal uji materi. Lembaga negara manakah yang berwenang menguji TAP MPR jika melanggar UUD 1945?.
Kedua, meski pasca amandemen UUD 1945 kedudukan MPR mengalami pergeseran dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara, bersebab, antara lain kewenangannya dipangkas secara signifikan tidak memilih presiden lagi, namun dalam prakteknya, MPR tetap sebagai lembaga tertinggi negara. MPR selain dapat menghapus dan menambah sederetan lembaga-lembaga negara melalui perubahan UUD 1945, MPR yang berwenang memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden setelah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) bersalah melakukan pelanggaran hukum, baik penyuapan, pengkhianatan terhadap negara atau melakukan perbuatan tercela.
Jika Ketetapan MPR melanggar UUD 1945, Lembaga Negara yang berwenang melakukan uji materi idealnya MPR itu sendiri. Karena MPR yang mengeluarkan TAP MPR, MPR sendiri yang mengetahui isi kandungannya. TAP MPR secara eksternal dapat mengikat keluar majelis karena TAP MPR bagian dari peraturan perundang-undangan.
TAP MPR sudah tepat dimasukkan di dalam hierarki peraturan perundang-undangan, mengingat TAP MPR amanat Pasal I Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: ”Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2003”.
[1] Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Aturan Tambahan psl. I.
[2] Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Mandar Maju, Cetakan I, 1998, hal. 54 dalam Rachmani Puspita Dewi, Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI setelah perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Jurnal Hukum Pro Justitia, Volume 25 No. 4, Oktober 2007, hal. 354. Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI , 2011), hal.193.
[3] Budiman B. Sagala, Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia, Jakarta: Ghalia, 1982, hal.245-246. Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.187.
[4] Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan (1), hal. 90. Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.188.
[5]Harun Al Rasid, Naskah UUD 1945 sesudah empat kali diubah oleh MPR, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2003), hal.49-50.
[6]Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia, Cet.2, (Jakarta: Temprint, 2001), hal.121.
[7] Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.189.
[8] A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaran Pemerintahan Negara, Disertasi, Jakarta: FHUI, 1990, hal. 133-135 dalam Sumardi, Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Perubahan ke empat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2006, hal. 47. Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.189.
[9] Muhamad Ridwan Indra, MPR Selayang Pandang. Jakarta: Haji Masagung, 1984, hal.19 dalam Sumardi, Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat, hal. 47, Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.189.
[10]Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, diterjemahkan dari Denny Indrayana, Indonesia Constitutional Reform 1999-2002: An Evaluation of Constitutional Making Transtition, Bandung: Penerbit Mizan, 2007, hal. 275. Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI , 2011), Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.191.
[11] Maria Farida S., Eksistensi Ketetapan MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yuridika, Vol. 20 No. 1, Januari-Februari 2005, al. 54-55. Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI , 2011), Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.192.
[12] Jimly Assiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hal. 174. Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI , 2011), hal.193.
[13] Ibid, hal. 207.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.